Terkadang
seseorang terluka hanya karena memaksakan diri untuk bertahan ketika seharusnya
merelakan.
Senja
itu aku masih menangis, terbayang kembali semua impian indah yang pernah kita
rencanakan. Bahkan langit senja yang jingga itu masih ingat betul bagaimana
engkau mengatakannya. Tapi semua itu telah hilang. Tak bersisa. Tiba-tiba kau
pergi dan hilang, tak bisa dihubungi. Nomer telepon mati, facebook dan twitter tidak
aktif, whatsapp pun aku di block.
Entah apa yang terjadi, kau tiba-tiba saja pergi.
Aku menyusuri jalanan ramai kota Jogja, berusaha mengingat kembali rayuanmu yang pernah memabukkanku dalam asmara, yang membuatku percaya bahwa ada cinta untukku. Aku berhenti di salah satu sudut jalan itu, duduk terpaku di kursi taman di trotoar jalan itu memandang aksi musisi angklung jalanan. Aku melihat mereka menari, orang itu menari seperti kehilangan dunia pada hari ini. Bahagia.
Waktu
berlalu, deru suara kendaraan, bus, motor, mobil dan tawa manusia menyeretku
dalam sendunya malam Jogja. Aku menghiirup nafas panjang, menyesapi segala
aroma yang terbawa angin, mengaburkan kegetiran. Aku memaksakan sebuah senyuman
dibibirku, bukan untuk siapapun, untukku sendiri. Agar aku bisa menyecap
bahagia, meskipun tidak sebenarnya. Aku tersadar kembali oleh tepukan di
pundakku.
"Move
up Ndah!" perempuan itu setengah berteriak ke arah wajahku. Suaranya
berusaha mengalahkan riuh tarian dan meriahnya angklung jalanan.
Aku
tersenyum ke arahnya, tanpa kata-kata. Aku baik-baik saja, aku masih bernafas
dengan baik, aku bukan penderita asma. Perempuan itu pun sepertinya mampu
membaca pikiranku, ia tersenyum sinis sambil membuang pandanganya dariku. Ia
memasukkan kedua tanganya ke saku jaket warna coklat muda. Kami memandangi
orang-orang yang tak lelah menari di jalanan itu untuk sekian lama.
"Carikan
aku suami," kataku dengan nada tegas yang kubuat-buat.
Lalu
kami diam sejenak. Kemudian perempuan itu tertawa, dengan sinisnya.
"Suamimu
akan menderita kalau menikahi perempuan macam kamu. Berkacalah. Tahu diri.
Sadar diri. Perbaiki hidupmu. Perempuan yang hancur tidak akan membawa kebaikan
apapun," katanya ringan sambil menyalakan rokok yang sudah berada
dikatupan bibirnya.
Aku
mengawasi asap rokok yang keluar dari bibirnya, kemudian ia seolah meniup dan
memainkan asap rokok itu dengan sengaja.
"Menikah,
kau tau Ndah, tidak pernah mudah. Jatuh cinta berkali-kali dengan orang yang
itu-itu saja, bahkan makin buruk saja kelihatanya. Hahaha" ia kemudian
memandangi langit, mendongakkan kepalanya sambil menyemburkan asap rokoknya.
"Perempuan
yang patah hati sepertimu itu nilainya minus.
Tak ada lelaki yang mau bersaing dengan bayang-bayang seumur hidupnya. Atau
kalau kau yakin bisa menjaga rahasia masa lalu kekasihmu itu. Dan tentu saja
mulut-mulut orang yang sudah menyaksikan betapa jatuh cintanya dirimu dengan
kekasihmu itu," katanya tanpa mengalihkan pandanganya dari asap rokok di
atas wajahnya
"Mantan
kekasih," jawabku sambil mendengus. Berusaha mengeskpresikan kelelahanku
sendiri.
"Kamu
itu goblok apa ndableg ya Ndah? Aku ga
ngerti deh."
Aku
hanya tersenyum, menertawakan diri sendiri mendengar pertanyaanya yang seperti
sebuah penyataan faktual.
"Aku
dapat kabar dia sudah punya kekasih baru," aku setengah berbisik, mencoba
untuk tidak menampakkan aura negatif.
"Dia
tidak akan nikah sebelum kamu nikah Ndah. Dia harus set up cerita kalau dia yang disakitin. Entah ditinggal kawin atau mbok porotin sampai miskin." kata
perempuan itu tanpa basa-basi
Aku
hanya mampu terdiam mendengar ocehan menyakitkan perempuan itu, yang mungkin
banyak benarnya.
"Lelaki
model begitu itu ya memang bakatnya jadi penipu, playing victim, berlagak jadi korban padahal dalam hati ngetawain kamu, begonya kamu cuma jadi lelucon buat dia dan orang-orang sekitarnya.
Kamu ga lebih punya nilai dari
sampah. Habis dipake ditinggal gitu aja.
Ga dimasukin tempat sampah tapi dibiarin berserakan jadi sarang penyakit
dan kelihatan jorok!" kali ini perempuan itu menyapukan pandanganya ke
wajahku.
Rokok
disela jemarinya mulai habis. Tak ada perdebatan atau perbincangan lagi. Kami
menikmati tarian orang-orang itu. Menyesaki kebahagiaan ke dalam ruang-ruang
kosong.
Kami
seperti patung mati yang menyaksikan tawa riuh manusia-manusia diluaran sana,
tersenyum getir memandangi kebahagiaan orang lain. Kami membiarkan waktu dan
angin melewat kami, dengan lembut mereka menyapu tubuh kami, pergi.
“Aku
bercerai Ndah,” kata perempuan itu tiba-tiba, tanpa mengalihkan pandangan
wajahnya dari atas sana,
Aku
melihat air mengalir dari sudut matanya,
tapi ia tetap mendongak, ia tak mau menangis atau setidaknya ia menahan diri
untuk tidak menangis. Aku tetap terdiam, menunggu waktu ang tepat untuk
bereaksi, tapi aku tak mampu mengucapkan sepatah katapun.
“Lucu
sekali bukan? Kau lihat kami pasangan yang sangat bahagia, kami sudah menikah
enam tahun lamanya, aku memiliki karir yang bagus begitupun suamiku. Tapi kau
tahu Ndah? Aku tidak bisa memberinya anak. Lalu semua keluarganya mulai
membisikkan sindiran-sindiran, lelucon-lelucon, hal-hal gila yang aku sendiri
tak percaya mampu keluar dari bibir-bibir orang berpendidikan seperti mereka,”
perempuan itu lalu mulai menertawakan dirinya sendiri, lirih.
“Suamiku
tak pernah berkata buruk padaku, tak pernah menyakitiku, tapi aku tahu bahwa
bisikan-bisikan itu membuatnya banyak berpikir. Keluarganya dan aku, tiba-tiba
menjadi dua hal yang harus dia pilih padahal sebelumnya ia menikahiku untuk
dijadikan ‘keluarga’-nya bukan? Bukankah itu lucu?” kini tawa perempuan itu
sudah mulai disertai tangis yang pelan tapi memilukan.
“Jangan
kau berpikir bahwa menikah itu sepenuhnya bahagia, kupikir setiap kita harus
berani menerima rasa sakit bahkan ketika kita sudah bersama. Ada hal-hal yang
harus tetap kita pegang dengan kuat agar tidak membuat yang lainya jatuh,”
“Kau
yakin dengan ide perceraianmu itu?” selaku diantara tangisnya.
Aku
tak langsung mendapatkan jawabanya, ia terdiam cukup lama. Kembali menyalakan
rokok dari saku jaket coklatnya. Menghisap asap rokok dan menghembuskanya di
udara. Lalu aku dengar tawanya, tawa yang ia deraikan untuk menguatkan batinya.
Sendiri.
“Ndah,
ada satu hal baik dari sakit hatimu itu, bahwa kau beruntung tidak harus
menghabiskan hidupmu dengan lelaki brengsek dan pengecut. Yang lari dari
janjinya sendiri, yang bahkan ia tidak mampu menepati ucapanya sendiri. Sekarang
kau punya lebih banyak waktu untuk berpikir ulang tentang menikah. Sejauh mana
kau mampu menjalaninya,” perempuan itu tersenyum sambil beranjak dari bangku
taman, berdiri dan menarik tanganku. Aku kemudian mengikuti langkah-langkahnya.
Jalanan
ini ramai dan bising dengan manusia-manusi yang bahagia dan mungkin mereka yang
pura-pura bahagia. Aku memandangi punggung perempuan dengan jaket coklat
didepanku, mengikuti langkah-langkah tegarnya, tanpa ragu.
Aku
harus memastikan padamu, setiap pasangan yang telah menikahpun pasti akan datang
masa saling menyakiti. Entah aku yang sallah atau dirimu, Lelakiku, siapapun
engkau yang datang padaku nanti, berjanjilah padaku bahwa engkau akan tetap
tinggal bersamaku bahkan ketika aku menyakitimu.